Berada di Ilaga benar-benar
sebuah perjalanan impian. Bagaimana tidak, sudah semenjak duduk di semester 5,
saya mendambakan KKN diluar Jawa, terutama Papua, khususnya Ilaga, setelah
diperlihatkan foto-foto di Ilaga oleh dosen yang sedang mengajar di kelas. Pada
tahun 2016 ini, keputusan yang saya pilih sama sekali tidak saya sesali.
Awalnya agak deg-degan juga akan berada di wilayah yang jauh dan masih zona
“merah”. Mana saya seorang perempuan. Orang tua sangat khawatir tentunya. Namun
dengan berbagai alasan yang saya berikan, saya bersyukur ternyata memiliki
orang tua yang mendukung. Tanggal 18 Juni, berangkatlah saya beserta 24 teman-teman
baru dan seorang DPL.
bersama anak Politik dan Pemerintahan 2013 (Kanan Mustika, kiri Agung) |
Sebelum pemberangkatan, kelompok kami banyak bertemu dengan kelompok KKN terdahulu untuk mengetahui kondisi lapangan. Berbagai cerita, dari yang susah hingga yang senang, semua diceritakan. Dan dari situ kami mendapatkan gambaran awal tentang bagaimana berinteraksi dengan masyarakat setempat. Harapan minimal, setidaknya kami dapat membaur dengan masyarakat.
Gugup? Jelas. Bagaimana tidak,
saya tidak pernah berinteraksi langsung dan intens dengan masyarakat Papua
sebelumnya. Dari logat saja sudah berbeda, juga berbagai perbedaan lain antara
kami dan mereka. Diawali dengan cara berjabat tangan yang sangat berbeda. Ketika
bertemu masyarakat dan hanya berjabat tangan biasa, mereka berkata itu hanya
seperti angin lalu. Tidak muncul rasa kedekatan antar manusia. Sering saya
akhirnya mengulangi cara saya menjabat tangan, hingga akhirnya ikut terbawa
budaya berjabat tangan masyarakat setempat.
“Ko pu tangan boleh” kata salah
satu mama yang pernah berjabat tangan dengan saya. Senang sekali rasanya.
Selain berjabat tangan, ada pula
adat masyarkat yang masih dilestarikan sampai sekarang. Yaitu bakar batu. Itu
bener-bener pecah. Gimana enggak, masyarakat dari jauh sudah “bernyanyi”
sebagai penanda bahwa mereka mendekat. Mereka berkumpul di lapangan luas utama
Kabupaten Pundak. Bersama-sama, membawa hasil bumi dan babi yang sudah
disediakan. Selama ini, saya melihat itu hanya di TV saja. Dan sangat tidak
menyangka dapat menyaksikannya langsung, di tempat kejadian. Bertemu juga
dengan kepala suku yang masih memakai koteka – dan akhirnya foto bareng. Saya
dan beberapa kawan yang ikut menyaksikan di lapangan besar dikira seorang
wartawan. Hahaha. Ohiya, saat itu dilakukan dalam rangka memperingati 8 tahun
Kabupaten Puncak.
Selain itu, saya dan kawan-kawan
mendapatkan kesempatan ikut prosesi bakar batu dari awal hingga akhir di Alomoni
– semacam area tempat tinggal keluarga Alom. Kali ini bakar batu dilaksanakan
dalam rangka mengucap syukur kepada Yang Masa Kuasa atas berkah yang diberikan
dengna hasil bumi yang berhasil mereka panen. Decak kagum saya tiada henti
melihat rangkaian prosesinya.
Membakar Batu |
Membuat "kolam" untuk masak |
This is it the "kolam" |
Siapa bilang wanita itu lemah?! Ini hasil buminya |
Noken + Rok = Trendy |
Siap-siap di masak hasil buminya |
Selain itu, saya menemukan bawa di Ilaga itu punya taste of fashion juga lho. Terutama untuk aksesoris. Dan saya kira, mereka jadi terlihat lebih trendy dengan aksesoris yang digunakan. Kalau laki-laki, mereka suka pakai penutup rambut yang dibuat dengan metode pembuatan noken – tetapi hasilnya bukan lah noken, hanya penutup rambut. Biasanya penutup rambut itu untuk laki-laki yang berambut panjang. Ada juga pakai bulu-bulu kasuari sebagai aksesoris kepala.
Kalung juga sering digunakan,
tetapi umumnya mereka membuat Kalung Anggrek dengan taring babi. Kadang ada
yang memakai kalung manik-manik juga. Senengnya, saya dikasih satu kalung
Anggrek dari seorang Tete (sebutan “kakek” dalam bahasa suku Damal) yang pernah
ikut sosialisasi anak-anak kluster Agro.
Noken – tas rajut ala Papua, juga
termasuk jadi salah satu barang pendukung ke-trendy-an seseorang disana. Noken dada dengan percampuran warna
gelap dan cerah kayaknya sedang hits disana. Soalnya banyak banget yang saya
temui itu memakai noken warna tersebut. Atau warna putih tulang dengan warna
seperti hijau nyeter, dsb. Juga Noken serat kayu yang sangat mahal menjadi
kebanggaan tersendiri untuk si pemakainya.
Untuk perempuan, tampil trendy
engga cuma dengan aksesoris, tapi juga tatanan rambut dan pakai rok. Salah satu
anak didik, Jerince namanya, punya mama yang senang “bereksperimen” model
rambutnya. Dari yang macem dikelabang banyak – mereka bilangnya “anyam”, hingga
model rambut cepol dua macem Chinese. Pake rok untuk keseharian juga dilakukan.
Di Ilaga, perempuan-perempuannya rata-rata bisa kerajinan lho. Anak SD, udah
pada pinter bikin gelang dari tali-tali nomor 9 kah, 12 kah. Juga bikin Noken
Rajut – karena lebih mudah. Kalo yang agak gedean dikit, biasanya udah jago
bikin noken, terutama noken dada. Fyi, ada dua macam noken di Ilaga – mungkin juga
di daerah Papua yang lain?. Yaitu Noken rajut – dengan hakpen sebagai alat
untuk merajutnya – dan Noken Dada – karena Noken hanya dibuat dengan tangan,
dan tangan kita seperti sedang “dada” (seperti kalo kita say good bye ke
teman).
Well, sepertinya aku masih kurang
banyak menceritakan cultural exposure-ku
karena udah agak-agak lupa. Mungkin nanti ada teman-teman KKN-ku yang lebih
menjiwai cultural exposure disana,
juga bikin tulisan tentang pengalamannya KKN disana. Doakan saja aku semakin
rajin menulis, supaya bisa sharing-sharing lagi tentang pengalaman di Ilaga
atau di tempat lain mungkin? Kita lihat saja.