Rabu, 14 Agustus 2013

Di Suatu Malam Setelah Merdeka

Kami bersuara,
riuh bersama kata-kata yang melambung di udara.
Mengumbar satu titik obyek untuk dijadikan bahan.
Ditambahkan dengan obyek lain, tak baru untuk sebagian.
Berharap layaknya dalam kotak bergambar penuh rekayasa,
terjadi seketika namun sia-sia.
Sedikit asa menghilang, tapi tidak seluruhnya.
Tidak jadi masalah.
Kami ber-riuh-renyah.

Tetapi sewaktu ketika,
teringat getaran pita suara itu pada lain obyek,
dari obyek lain.
Tertegun dalam hati.
Menerawang jauh pada suatu waktu yang lalu.
Kenapa begini?
Tak disangka, kesamaan keduanya muncul.
Diambilnya tanpa ampun.
Lalu empat mata saling melawan, beradu pandang.
Tetiba bergemuruh.
Di dalam titik penting raga manusia.
Tidak mungkin.
Geliat pemikiran saling beradu seru namun sepi.

Kembali dirinya memutar sebagian pemikiran lalunya.
Ditepis, diajak beradu logika dalam satu raga.
Dirinya menyerah, pasrah menyerahkannya pada waktu yang akan terus berlari konstan.

Damai, tenang, semua indah bahagia.
Seakan badai telah berlalu cepat.
Namun, suatu karakter muncul.
Kembali mengubah segala upayanya.
Gemuruh, kembali terjadi.
Ditambah api yang menyala.
Ditujukan pada dia, pejantan yang tak diketahui.
Sungguh ingin dia lempar segala kata yang pantas,
untuk dia seorang.
Kata, tindakan, dan apapun.
Karena telah mengubah seorang.
Menjadi tak tentu, terbawa arus berpikir politis didalam inti egonya.
Disetiap inti yang dimiliki hampir semua manusia.
Pengaruh! Kacau!
Semua karena politisasi mu, Tan!

Lalu,
mau kemana kah dia akan tenang?
Tak beradu pandang saja, dirinya bisa menemukan.
Menemukan kejanggalan yang tak kunjung dipahami.
Pergi, enyalah!
Aku ingin dia kembali seperti dulu,
atau setidaknya,
biarkan dia mendapat porsi miliknya.
Bukan diadukan dengan milikmu.
Pergi lah, biarkan dia berkembang pada masanya.
Itu yang kami mau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar