Senin, 18 Januari 2016

Cerita SSEAYP #4 : Pengalaman Berlayar (selesai)

Dan 17 hari lagi program sudah mau selesai. Duh rasanya….

Pelabuhan terakhir
Negara yang terakhir disambangi oleh kami adalah Malaysia. Tepatnya di Sabah, Kota Kinabalu. Denger-denger sih, Nippon Maru yang membawa peserta SSEAYP ini singgah kembali di Kota Kinabalu setelah 20 tahun yang lalu. Lumayan lama ya. Perjalanan dari Yangon ke Kota Kinabalu memakan waktu 5 hari. Dan lagi-lagi, ada pirates watch saat perjalanan ini. Syukur nggak kenapa-kenapa. Eh, waktu itu kami sempet juga lho singgah sebentar di lautannya Singapura. Buat refill barang atau bahan makanan gitu. Disitu kami stay lumayan lama dan bisa melihat Sentosa Island dari kapal. Meski kaki tak bisa menjejakkan langkah di daratan bumi Singapura, tapi kalo bisa ngelihat Singapura dari posisi ini aku seneng banget. Mana disitu banyak lho kapal-kapal muatan yang berlalu lalang. Mungkin ini ya yang dibilang “jalur perdagangan dunia”. Dan nggak kebayang nenek moyang yang seorang pelaut, yang mengarungi samudra luas. They must be a super tough people.

Kapal yang refill mahan makanan. Di depan itu negeri Singapura

Sekitar jam 10 pagi tanggal 5 Desember 2015, kapal sudah merapat ke Pelabuhan. Saat itu sedang panas-panasnya. Jadi lebih seneng stay di kapal soalnya dingin. Hehehe. Hari itu juga kami ada upacara penyambutan di pelabuhan. Satu yang paling aku ingat saat di Malaysia adalah lagu Sayang Kinabalu yang liriknya “tinggi tinggi gunung Kinabalu, tinggi lagi sayang kamu”. Those lyrics stay in my head like always. Dan tariannya jug amasih membekas sampe sekarang, apalagi kalau sambil dengerin lagunya:


Kota Kinabalu adalah Port of Call terakhir. Nggak menyangka perjalanan secepat itu. 4 hari 3 malam di Kota Kinabalu rasanya kayak angin lalu. Cepat sekali. Kami harus menyudahi ini tanggal 8 Desember 2015. Tapi aku aku selalu berusaha menikmati setiap momen yang terjadi disana. Stay positive made me more grateful, and happier. Di Malaysia ini kalo aku nggak salah inget ya, sempet agak lama gitu kita mau perisapan berlayar kembali dari Malaysia ke Jepang. Jadi bikin keluargaku nunggu lama. Aku kepikiran aja pas sebelum ticker tip throwing, betapa panasnya diluar sana, betapa lamanya mereka (para keluarga angkat) nungguin kami. Setelah sekian lama nunggu, akhirnya waktu ticker tip throwing pun dimulai. Seperti biasanya, aku milih yang warna merah. Suara gong sudah terdengar. Saatnya melempar pita. Bersama mermaid sister-ku, seorang peserta dari Laos, kami bareng-bareng ngelempar pita kertasnya. Huhuhu sedih banget aku rasanya. Ada Mama, Papa, 3 sodara laki-laki (yang satu masih bayi banget, baru beberapa bulan yang lalu dia lahir ke bumi), dan satu orang adek perempuanku. Duh, sampe kudu ngelap mata yang bekaca-kaca pas nulis bagian ini. Pita kertasku dapat ditangkap dengan baik sama sodaraku. Dan akhirnya pelan pelan, kapal pun mulai meninggalkan pelabuhan. Pita yang awalnya kendor, lama-lama jadi kenceng karena saling tarik, antara aku dan sodaraku, dan kapal yang makin menjauh dari pelabuhan. Dan akhirnya, *tss” P U T U S. Ya, pita kertasnya pun putus.

Keluarga angkat di Malaysia pas lagi Open Ship

 Sejak kapal mulai menjauh, aku lihat dari deck lantai 4 mama menangis. Ketika aku liat mama disitu, yang aku ingat adalah rumah di Kampung Kebagu. Aku cuma bisa melambaikan tangan dan tersenyum senang-sedih-terharu-bahagia, tersenyum nano-nano kayak gado-gado. Akhirnya pun kapal semakin menjauh, dan orang-orang di pelabuhan pun tak lagi Nampak. Di deck itu aku ketemu sama sahabatku, namanya Rena. Kami akhirnya cuma bisa menatap senja di lautan. Sunset saat itu tak seindah biasanya. Meninggalkan segala kenangan dan keluarga baru di Malaysia. Orang-orang mulai masuk ke dalam kapal. Tapi ada juga yang masih tinggal di deck. Aku dan Rena memutuskan untuk tinggal sebentar di deck, lalu berbincang dengan tatapan menuju ke arah matahari yang tenggelam itu. Eh kok tiba-tiba ketemu si itu di deck. Haha. Jadi bahagia lagi.

Perjalanan pun akan berakhir dalam beberapa hari saja. Hanya laut China Selatan yang kami lihat. Semua air. Daratan telah pergi entah kemana. Sinyal internet sudah tak ada. Kembali berinteraksi dengan manusia di dalam kapal. Sunset indah di laut Cina Selatan aku pandang dengan takjub dan penuh rasa syukur. Kadang aku menikmati sunset itu sendirian. Sambil merenung, merefleksikan diri. Kadang sambil bikin video, kadang sambil makan dan liat sunset-nya dari ruang makan.



Suara ombak, angin yang tak kalah kuatnya, kapal yang goyang ke kanan, ke kiri, naik, turun, menjadi keseharian kami di hari-hari terakhir. Seasick Pill makin sering dikonsumsi, bahkan ada juga yang sampai terbaring lemah di kamar. Aku sendiri sempet ngerasain mabuk laut, tapi enggak sampai, maaf, muntah. Cuma perut yang nggak bersahabat, kepala yang pusing gimana gitu, dan setiap lihat makanan bawaannya pengen muntah aja. Tapi karena aku merasa tubuhku berhak untuk mendapatkan makanan, aku tetap berusaha makan meskipun sedikit. Aku nggak mau menyusahkan orang lain gara-gara nggak makan dan jadi sakit di hari-hari terakhir.
Foto bareng peserta lain negara dengan background Gunung Fuji yang tertutup awan mendung. Dingin!!
Saat sudah memasuki wilayah Jepang suhunya semakin dingin karena Jepang sudah mulai winter. Kami ngelewatin Sizuoka (bener gak ya tulisannya?) juga lho sebelum ke Tokyo. Kami tadinya mau “dipamerin” Gunung Fuji sama sang Kapten. Tapi sayangnya saat itu lagi mendung. Jadi gunungnya, terutama puncaknya, nggak begitu keliatan. Aku Cuma bisa memandang aja. Mau difoto bingung juga karena nggak ada keliatan itu gunung Fuji. Kalo nanti dishare dan bilang kalo itu Gunung Fuji, nggak ada yang percaya nanti. Hahaha.

Mendung saat Ms. Nippon Maru menepi kembali di Tokyo Harbour. And it was cold.

Tanggal 15 Desember 2015. Sehari sebelum kami pulang. Kapal sudah menepi di Pelabuhan Internasional Tokyo. Pelabuhan tempat kami memulai perjalanan pertama kami, dan akhirnya harus berakhir disini pula. Cerita panjang selama mengarungi lautan ini sebanyak ini belum dapat menggambarkan SSEAYP seutuhnya. *Ngelap air mata dulu ya.*

Dari kiri ke kanan: Rena (Japan), Happy (Vietnam), seorang petinggi di kapal tapi aku lupa nama dan posisinya apa, THE CAPTAIN, Aku, Ana (Vietnam)
A Day Before Leaving the Ship, and Japan......

Aku pikir, dan banyak orang lain yang juga mikir bahwa inlah yang membuat program pertukaran ini beda sama program pertukaran lainnya. Kehidupan dan perjalanan di atas Kapal sungguh istimewa. Tunggu cerita-cerita SSEAYP lainnya! 

Cerita SSEAYP #3 : Pengalaman Berlayar (2)

Dari Filipina ke Vietnam, perjalanannya tidak begitu jauh kok. Cuma 2 hari aja. Kami disambut meriah di pelabuhan saat kapal mulai merapat. Sambutan baik dari pemerintah setempat, yang juga mengerahkan ratusan pemuda/I untuk menjadi pendamping kami selama ada kunjungan ke lembaga maupun homestay. 5 hari kami habiskan di Ho Chi Minh City. Pengalaman asik kami temui disitu. Dari yang naik motor, kalo jalan-jalan ke berbagai tempat wisata pasti ketemu sesama peserta, sampai ada juga lho yang anak di keluarga angkatnya suka sama salah satu peserta.

Setiap mau keluar Pelabuhan, harus pake kartu ini (Landing Card)

Ini Mae-ku. Bedanya disana sama di Indonesia adalah helmnya. Kalo helm di Vietnam itu model Helm yang setengah kepala aja, kayak di Indonesia beberapa tahun yang lalu sebelum helm SNI sekarang.

Tanggal 21 November 2015, saatnya perpisahan. Dan dengan kegiatan yang sama: ticker tip throwing. Enggak tau kenapa, meninggalkan Ho Chi Minh City rasanya berat banget. Bahkan ketika pita ini menghubungkan antara aku, keluarga angkatku, dan Local Youth yang selalu menemani aku dan homestaymete aku jalan-jalan, aku nggak mau ini terputus. Apa yang aku bisa lakukan? Nggak ada. Aku Cuma bisa menangis dan melambaikan tangan ke mereka sampai aku nggak bisa lagi melihat mereka dari kapal yang menjauh. Sedih? Iya…. Tapi gimana lagi. Disitu aku merasa belum bisa mengendalikan diriku, emosiku. Padahal kami masih bisa keep in touch lho. Facebook account udah ada. Apa sebabnya? Tunggu ceritanya ya!

Adek angkatku (tengah), adek sepupu aku (kanan)

Makan bareng sekeluarga di tempat makan vegetarian

Lihat ada 2 orang pakai kaos merah? Ya, dia mae dan adekku. Samping kirinya adalah Local Youth yang menenin aku sama homestay-mate aku selama di Ho Chi Minh City. Sayang fotonya blur. Ini keadaan pas ticker tip throwing

Lelah bersedih-sedih, aku akhirnya menikmati saja apapun yang terjadi di kapal, just have fun. Perjalanan selanjutnya adalah… MYANMAR! Sebuah Negara yang aku paling nggak amu berekspektasi. Cerita dari alumni tentang Myanmar yang kurang baik membuatku, dan juga kontingen Indonesia secara keseluruhan untuk santai, relax, dan nggak usah mikir aneh-aneh. Just enjoy everything.

Perjalanan di Myanmar ini paling seru dalam arti sesungguhnya. Gimana enggak? Dalam 4  setengah hari perjalanan (setengah hari itu artinya kami nyampe di Myanmar pada sore hari. Ehehe) ada 2 hari terjadi Pirates Watch. Woops, pirates? Ya. Bajak laut. BANYANGKAN.

Jadi ceritanya di Selat Malaka itu masih cukup rawan untuk terjadi pembajakan kapal. Untuk mencegah itu, awak kapal selalu mengunci pintu-pintu menuju ke deck kapal mulai jam 9 malam hingga pagi hari. Enggak ada yang boleh keluar pas jam segitu. Kecuali dia mau kekunci sampe pagi. Aku sih ogah. Haha. Jadi jam-jam segitu ada awak kapal juga yang jaga diluar kapal. Sebelum ini terjadi, Kapten Kapal udah pernah bilang sama para peserta kalo akan dilakukan Pirates Watch. Tapi kami ditenangkan karena beliau bilang kalo dengan kapal segede dan sebanyak ini orangnya, pirates mikir-mikir juga kalau mau ngebajak. Aku sih sebenernya agak excited tapi agak waswas jgua setelah dijelasin sama Kapten. Disatu sisi kebayang aja gimana kalo beneran liat bajak laut yang masuk ke kapal, terus ngebajak kapalnya, disisi lain ngeri juga kalau kapalnya dibajak, gimana hidupku nanti. Hiiii. Syukur banget 2 hari itu berlalu dengan baik. Aman. Thank God. Thank you Captain, Thank you Ship Crews.

Sunset cantik saat merapat di Pelabuhan Yangon, Myanmar
Saat merapat di Yangon (baca: Yangong), Myanmar (Baca: Myanmaa), saat itu sudah sore. Kami disuguhi sunset cantik diatas kapal. Indah sekali rasanya. Aku pun rasanya pengen dengerin lagu-lagu galau biar suasananya dapet banget. Hahaha. Tapi, bayanganku tentang suasana galau itu nggak terjadi sesuai kenyataan karena saat itu Kontingen Indonesia sedang latian Flag Cheers dan persiapan untuk penampilan di acara penyambutan sekaligus makan malam. No Galau! Hahaha. Well, Myanmar adalah negara yang paling nggak terduga. Dan waktu homestay yang hanya 1 malam saja…. Itu rasanya sangat amat kurang.

Pada tanggal 29 November 2015, setelah 4 hari 3 malam berada di Yangon, Myanmar, saatnya perjalanan dimulai kembali. Kali ini, aku tidak melakukan ticker tip throwing karena keluargaku tidak dapat hadir di ticker tip throwing karena ada acara lain. Namun nggak masalah. Berkat keluargaku, aku merasa Myanmar memberiku kesan yang nggak kalah asik. I really want to go back to Myanmar.

In Swedagong Pagoda. I really want to go back to Myanmar!
(to be continue)

Minggu, 17 Januari 2016

Cerita SSEAYP #2 : Pengalaman Berlayar (1)

A day before the first Set Sail (Nov, 4th 2015)  in Tokyo Harbour
Perjalanan ini dimulai di Jepang. Dari jepang kami berlayar selama 5 hari menuju Manila Filipina. Ini pengalaman pertama melewati lautan luas menggunakan kapal. Saat masih di bagian selatan Jepang, semua Nampak baik-baik saja. Tidak begitu mual, pusing, bahkan  tidak ada yang namanya: muntah. Semua dalam kendali yang baik. Bahkan kami melewati salah satu pulau di Jepang dan itu sangat indah….. Namun itu semua berubah sejak di Laut Cina Selatan. Ombak lautnya luar biasa besar, anginnya pun kencang. Kapal mulai bergoyang riuh rendah. Pusing, nggak kuat. Tapi tenang, Admin punya solusinya: SEASICK PILLS! Langsung lah aku minta pil tersebut ke perawat yang baik hati. Dan keesokan harinya mabuk lautku menghilang. Di kapal kita juga disediakan kantong SEASICK. Kali aja pas lagi diluar cabin (kamar tidur), tiba-tiba pengen muntah. Haha.

Persiapan berlayar 5 November 2015, dari Jepang ke Filipina
Ini seasick pills favoritku karena tahan 24 jam, ANERON (diambil dari google)

Sampai di Filipina, kami disambut dengan pulau-pulau cantik. Maklum aja, Filipina itu memang Negara kepulauan. Pulaunya kecil-kecil. Cantik gitu pas sebelum kami tiba di Pelabuhannya.  Kalau kata temanku yang dari Ambon, it looked like Ambon. Ngomong-omong, pelabuhannya ini di Manila, ibukota Filipina. Di Filipina, kami menghabiskan 4 hari untuk berbagai kegiatan seperti penyambutan kedatangan, kunjungan ke suatu lembaga dan homestay. Yeay, akhirnya di daratan juga! Untuk cerita lebih lanjut di Filipina, tunggu aja!

Setelah itu, pada Sabtu sore tanggal 14 November, kami memulai perjalanan kembali dengan Ms. Nippon Maru. 5 hari di kapal sebelum tiba di Filipina ternyata sudah sedikit membuatku  kangen lho. Di rumah saat homestay, I don’t know why aku kepikiran aja sama temen-temen di kapal dan suasananya disana. Dan setelah kembali masuk kapal rasanya… it’s a home!

Yang menarik disini, sebelum mulai perjalanan kembali kami melakukan ticker tip throwing ke keluarga angkat yang datang. Kegiatan ini dilakukan di setiap negara yang disinggahi, termasuk di Jepang saat sebelum berangkat untuk pertama kalinya. Para peserta dipersilakan untuk keluar ke dek kapal di lantai 4 atau 5. Sebelum itu, kami diberikan pita kertas dari pihak Admin, terserah kita milih warna yang mana. Untuk aku sendiri, aku selalu milih yang warna merah. I love the red one!

Kurang lebih kalau sebagai peserta, ini lah yang kami lihat dari deck lantai 4
Para peserta di atas kapal. Ini pemandangan kalo kamu jadi penerima ticker tip-nya
Pita itu dilempar ke keluarga angkat yang ada di pelabuhan dan mereka akan mengambil pita yang kita kasih. Biasanya akan ada gong yang ditabuh sebagai penanda diperbolehkannya kita melempar. Ini sih saat paling menyebalkan disetiap perpisahan. Para peserta yang mendapatkan pengalaman dan rasa sensitifitas yang luar biasa biasanya bakal nangis. Kenapa nangis? Karena keluarga angkat yang sangat welcome dan ramah sampai sudah dianggap anak sendiri, atau suasana Negara yang menyenangkan, atau mungkin karena pikiran yang “kapan lagi bisa ke Negara ini dengan suasana yang seperti ini”?

Di Filipina, banyak teman-teman yang bercucuran air mata, karena alasan-alasan diatas ataupun ada alasan lain. Bagiku, pengalaman di Filipina sangat menyenangkan dan aku merasa seperti kakak diantara anak-anak orangtua angkatku. Aku terharu sekali ketika harus pergi meninggalkan Filipina. Aku pernah bilang ke beberapa peserta maupun Admin:

SSEAYP itu program yang selalu membuat orang say hi dan say good bye in a very short time. Once they became a stranger, then have a close relation. But then we said good bye when we have already close to each other, even just in in a few hours with local youth or two night with the host family

Tapi nggak apa, segala pertemuan pasti ada perpisahan. Selama kita punya kontak mereka, entah di social media atau alamat rumah, it doesn’t matter. Kita masih bisa berhubungan. Yang penting kita selalu mendapatkan pengalaman yang luar biasa di setiap Negara yang dituju, sebagai bekal kita untuk menjadi kehidupan di kemudian hari. Dan selalu menjaga tali silaturahmi satu sama lain.

Perkenalkan, keluargaku di Filipina. I Miss Them Already.
Well, Setelah itu kapal akan segera pergi meninggalkan pelabuhan. Segala pengalaman yang didapatkan akan membekas meski raga sudah tidak disana. Dan perjalanan kembali dimulai.

(to be continue) 

Senin, 04 Januari 2016

Cerita SSEAYP #1 : Perkenalan

Indonesia Contingent

The 42nd  Ship for Southeast Asia and Japanese Youth Program 2015
(Program Kapal Pemuda Asia Tenggara dan Jepang Ke-42 Tahun 2015)

Program ini merupakan program pertukaran yang dimulai pada tahun 1974 dan muncul karena kesepakatan antara Pemerintah Jepang dan Pemerintah 5 negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, seluruh anggota negara ASEAN mengikuti program ini hingga sekarang. Pada tahun 2015, program ini sudah dilaksanakan untuk ke-42 kalinya dengan harapan yang sama, yaitu untuk dapat mewujudkan dan meningkatkan persahabatan dan kesepahaman antarnegara peserta SSEAYP. Kalau mau tahu lebih lanjut bisa ke sini.

Pesertanya sendiri terdiri dari pemuda-pemudi dari 10 negara Asia Tenggara dan Jepang. Setiap Negara mendapat kuota perserta 28 pemuda/I, 1 National Leader, dan 1 orang OBSC (On Board Steering Committee). Jadi kalau ditotal, satu kontingen sebuah Negara isinya 29 orang. Tapi khusus Jepang, bisa lebih dari itu. Pada tahun 2015, peserta dari Jepang berjumlah 37 pemuda/pemudi ditambah satu orang National Leader dan satu orang OBSC.

Untuk kriteria peserta, mereka adalah yang berumur 18-30 tahun, dapat berpartisipasi penuh selama program, dapat berbahasa Inggris dengan baik, dapat berkerjasama dalam sebuah tim, dan tentunya memiliki ketertarikan dan pemahaman tentang Negara-negar yang mengikuti kegiatan.  Di kontingen Indonesia 2015, peserta yang paling tua berasal dari Jambi, yaitu 29 tahun. Di kontingen Jepang, peserta tertuanya berumur 30 tahun dan jumlahnya ada lebih dari 1 orang. Di beberapa Negara, mereka yang sudah menikah diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan ini selama masih berumur 18-30 tahun. Tetapi di Indonesia, hal ini tidak diberlakukan. Jadi mereka yang sudah menikah tidak dapat mengikuti program ini.

Ini nih Kapal Nippon Maru-nya Pemerintah Jepang

Ada sekitar 317 peserta program SSEAYP. Yang unik dari program pertukaran ini adalah, kami dikumpulkan jadi satu di sebuah kapal bernama Ms. Nippon Maru (baca: Mis Nippong Maru) untuk berkegiatan. Kapal ini sebenarnya sudah ada sejak pertama kali dilakukannya pelayaran, yaitu pada tahun 1974. Tetapi seiring berjalannya waktu kapal ini banyak direnovasi bahkan sangat berubah dibandingkan pada awal pemakaiannya. Rute perjalanan kali ini adalah:



TOKYO (JEPANG) - MANILA (FILIPINA) - HO CHI MINH (VIETNAM) - YANGON (MYANMAR) - KOTA KINABALU (MALAYSIA) - TOKYO (JEPANG)

diambil dari sini lho
Ms. Nippon Maru adalah rumah kami. Home sweet home. Kami banyak menghabiskan perjalanan ini diatas kapal. Banyak interaksi yang terjadi di dalamnya mengingat ada sekitar 317 peserta, Admin (semacam panitia penyelenggara dari Jepang), serta awak kapal ada disini. Kalian bisa bayangin dong betapa banyak orang di dalam kapal? Tawa, canda, lelah, sedih, dan keramahan mudah di kita temui. Gimana enggak, hampir 2 bulan lamanya kami melakukan perjalanan bersama-sama dan selalu ketemu dengan sesama peserta di dalam kapal. Kalau tidak ramah, itu namanya bukan rumah.



[ I - 53 ]